Nama
: Rangga Dwi Fachreza
NPM : 58414905
Kelas : 2IA09
Kebertuhanan Bangsa Dan Revolusi Mental
Fenomena sosial yang ada memperlihatkan pada kita bahwa krisis yang melanda bangsa adalah krisis yang bersifatmulti-dimensional, karena sudah menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa, baik sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya maupun agama, bahkan karakter bangsa telah mengalami peluruhan terus, seperti memasuki sumur tanpa dasar, dan kita tidak tahu persis sampai kapan krisis ini akan berakhir.
NPM : 58414905
Kelas : 2IA09
Kebertuhanan Bangsa Dan Revolusi Mental
Fenomena sosial yang ada memperlihatkan pada kita bahwa krisis yang melanda bangsa adalah krisis yang bersifatmulti-dimensional, karena sudah menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa, baik sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya maupun agama, bahkan karakter bangsa telah mengalami peluruhan terus, seperti memasuki sumur tanpa dasar, dan kita tidak tahu persis sampai kapan krisis ini akan berakhir.
Karena
itu, gagasan perbaikan untuk mengatasi krisis bangsa yang multi-dimensional,
tidak bisa lagi bersifat parsial, tetapi harus total dan menyeluruh. Gagasan
demikian biasanya menggunakan slogan revolusi, seperti revolusi kebudayaan,
revolusi struktural, bahkan revolusi sampai mati, bahkan bung Karno sendiri
pernah mengatakan bahwa revolusi kita belum selesai. Gagasan revolusi ini
adalah gagasan yang gagah berani, seakan-akan bisa menyelesaikan krisis dengan
seketika, tetapi gagasan itu sesungguhnya absurd.
1.
Tentang Kebertuhanan kita
Dalam realitas kehidupan masyarakat di mana pun, ada sesuatu yang fundamental dalam kehidupannya yaitu sistem kepercayaan, sifatnya transenden dan berkaitan dengan kebertuhanan. Ada tiga fenomena kebertuhanan yang sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar atas terbentuknya pandangan hidup dan moralitasnya, yaitu kebertuhanan 1) Tuhan Persepsi (al ilah al idraky), 2) Tuhan Konsepsi (al ilah al aqly) dan 3) Tuhan Empirik (al ilah al ‘amaly). Apapun kepercayaannya, kebertuhanan itu menjadi dasar dari suatu way of life, untuk memberi jawab atas misteri abadi kehidupannya, dari mana dan akan ke mana? dan kemudian membentuk suatu pandangan moralitas yang mengarahkan perbuatannya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukannya.
Dalam realitas kehidupan masyarakat di mana pun, ada sesuatu yang fundamental dalam kehidupannya yaitu sistem kepercayaan, sifatnya transenden dan berkaitan dengan kebertuhanan. Ada tiga fenomena kebertuhanan yang sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar atas terbentuknya pandangan hidup dan moralitasnya, yaitu kebertuhanan 1) Tuhan Persepsi (al ilah al idraky), 2) Tuhan Konsepsi (al ilah al aqly) dan 3) Tuhan Empirik (al ilah al ‘amaly). Apapun kepercayaannya, kebertuhanan itu menjadi dasar dari suatu way of life, untuk memberi jawab atas misteri abadi kehidupannya, dari mana dan akan ke mana? dan kemudian membentuk suatu pandangan moralitas yang mengarahkan perbuatannya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukannya.
Pandangan
kebertuhanan biasanya diajarkan pertama kali oleh orang tuanya, gurunya dan
lingkungan sosial keagamaan di mana seseorang sejak kecil menjalani
kehidupannya. Kebertuhanan itu dibangun dari cerita kemanusiaan, perintah
keagamaan dan pandangan gaib tentang Tuhan. Mereka membangun suatu persepsi
tentang Tuhan. Pada tahap ini Tuhan digambarkan sebagai sosok pribadi yang
berkuasa dan membentuk pandangan moralitas yang harus tunduk sepenuhnya tanpa
syarat pada kehendak-Nya. Pandangan moralitas yang verbal, menekankan formalism
dan bertumpu pada ritual keagamaan.
Setelah
seseorang mengalami perkembangan intelektual yang semakin tinggi dan mencapai
tingkat pengetahuan yang rasional, maka tuhan persepsi itu bergeser pada tuhan
konsepsi, dengan menghadirkan rumusan konsepsi tentang Tuhan. Yang menjadi
masalah adalah apakah konsepsi tentang Tuhan itu mungkin? Suatu konsepsi selalu
dimulai dari definisi melalui batasan dan pengukuran, sedangkan Tuhan tidak
terbatas dan tidak mungkin diukur. Tuhan konsepsi ini kemudian membentuk
pandangan moralitas yang rasional, dengan melakukan rasionalisasi terhadap
suatu tindakan, yang seringkali dipengaruhi oleh kepentingan yang bersifat
subyektif.
Tuhan
persepsi dan tuhan konsepsi adalah sesuatu yang wajar dari proses perkembangan
rasionalitas yang dialami seseorang dalam kehidupannya. Akan tetapi Tuhan
persepsi dan konsepsi terbentur pada keterbatasan untuk menggapai
ketidak-terbatasan, dan merupakan pemikiran yang di dalamnya mengandung
kesalahan metodologis. Ketidak-terbatasan Tuhan mutahil dicapai oleh
keterbatasan manusia, baik melalui persepsi maupun konsepsinya. Akiabtnya
setiap definisi Tuhan mengandung kesalahan metodologis, sehingga persepsi dan
konsepsi Tuhan pun akan mengalami kegagalan. Dengan kata lain, persepsi dan
konsepsi tentang Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi hanya tuhan (dengan t kecil),
yaitu tuhan yang dikonstruksikan oleh pemikirannya sendiri.
SedangkanTuhan
empirikadalah realitas dinamis pengalaman hidup bertuhan, baik dalam suka mau
pun duka, yang membentuk kesadarannya bahwa hidup ada di dalam Tuhan, dan di
luar Tuhan sama sekali tidak ada kehidupan. Pengalaman kebertuhanannya
menyadarkan betapa besarnya Tuhan dalam segala ciptaan-Nya yang tidak mungkin
dimonopolinya. Tuhan adalah kemutlakan yang tak tergapai oleh kerelatifan
dirinya. Kesadaran moralitas Tuhan empirik menyadarkan adanya keterbatasan
dirinya dan keharusan untuk menerima pluralitas dan membangun harmoni bagi
kehidupan bersama.
2.
Krisis Multi-dimensi
Fenomena sosial yang berkembang pada masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas bangsa kita berada dalam berketuhanan tuhan persepsi. Akibatnya para ABG jatuh pada pemujaan seorang tokoh yang diidolakannya, seperti agama CB, Smash dan juga Lady Gaga, dan mereka mau melakukan apa saja untuk tokoh yang dipuja dan dipertuhankannya. Para politisi karbitan memuja kekuasaan, di mana kekuasaan di pandang sebagai tujuan hidupnya, dan mereka mau mengorbankan dirinya untuk meraih kekuasaan dengan cara apa pun, bahkan para penguasa memandang kekuasaan menghalalkan segara cara termasuk korupsi, manipulasi dan kolusi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka juga memandang uang segala-galanya, uang telah dipertuhankan sebagai cara untuk meraih sorga dunia, hidup senang dan berkecukupan, mereka jatuh pada hedonism, konsumerisme dan materialism.
Fenomena sosial yang berkembang pada masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas bangsa kita berada dalam berketuhanan tuhan persepsi. Akibatnya para ABG jatuh pada pemujaan seorang tokoh yang diidolakannya, seperti agama CB, Smash dan juga Lady Gaga, dan mereka mau melakukan apa saja untuk tokoh yang dipuja dan dipertuhankannya. Para politisi karbitan memuja kekuasaan, di mana kekuasaan di pandang sebagai tujuan hidupnya, dan mereka mau mengorbankan dirinya untuk meraih kekuasaan dengan cara apa pun, bahkan para penguasa memandang kekuasaan menghalalkan segara cara termasuk korupsi, manipulasi dan kolusi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka juga memandang uang segala-galanya, uang telah dipertuhankan sebagai cara untuk meraih sorga dunia, hidup senang dan berkecukupan, mereka jatuh pada hedonism, konsumerisme dan materialism.
Karena
itu, betapa sulitnya kita keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda
kehidupan bangsa ini, seakan-akan kita menghadapi benang kusut, karena dalam
semua aspek kehidupan kita ternyata telah mengalami degradasi serius, dengan
peluruhan karakter yang mengancam masa depan bangsa secara keseluruhan. Rasanya
mustahil keluar dari krisis multi-dimensi ini, kalau pendekatannya masih
bersifat parsial dan hanya di permukaan saja, karena sebenarnya fundamental
kehidupan ini yaitu sistem kepercayaan kita sedang sakit, tidak mempertuhankan
Tuhan tetapi mempertuhankan tuhan, berupa kekuasaan, uang dan kesenangan
duniawi.
Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila seharusnya menjadi
praktek kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegera, jangan sampai
ideologinya Pancasila, tapi praktek hidupnya anti Pancasila. Karena itu,
Ketuhanan Yang Maha Esaadalah kebertuhanannya semua agama dan aliran
kepercayaan. Kebertuhanan yang menerima pluralitas persepsi Tuhan bukan sebagai
yang absolute dan tidak boleh dimutlakkan, agar tumbuh menjadi kebertuhanan
empirik yang dikukuhkan dalam empat sila berikutnya.
Kebertuhanan
empirik yang menyatu dalam perikemanusiaan yang adil dan beradab, dengan
menjauhkan diri dari kecenderungan kemanusiaan yang tidak adil terhadap semua
kelompok dan aliran serta kemanusiaan yang tidak beradab, barbar dan tidak
menghargai keanekaragaman, yang kemudian dikukuhkan dalam persatuan nasional,
melalui kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang terwujud dalam keadilan sosial bagi seluruh
rakyat di negeri ini.
3.
Absurditas Revolusi Mental
Mentalitas bangsa kita dalam sejarahnya telah mengalami proses pasang surut. Di masa lalu mentalitas bangsa kita sebagai bangsa bahari dikenal mempunyai mentalitas yang kuat, mempunyai penguasaan terhadap pergolakan di lautan, sehingga mengantarkan kehidupan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul di Asia Tenggara, dan pernah menjadi pusat kekuasaan politik dan perdagangan yang berbasis pada penguasaan maritim, baik pada masa kerajaan Sriwijaya mau pun Majapahit.
Mentalitas bangsa kita dalam sejarahnya telah mengalami proses pasang surut. Di masa lalu mentalitas bangsa kita sebagai bangsa bahari dikenal mempunyai mentalitas yang kuat, mempunyai penguasaan terhadap pergolakan di lautan, sehingga mengantarkan kehidupan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul di Asia Tenggara, dan pernah menjadi pusat kekuasaan politik dan perdagangan yang berbasis pada penguasaan maritim, baik pada masa kerajaan Sriwijaya mau pun Majapahit.
Pada
era penjajahan, kekuatan maritim kita dikalahkan dan dikandangkan penjajah di
daratan, untuk menjadi pekerja di perkebunan dan pertanian yang mereka kuasai,
dan kemudian kita dikukuhkan sebagai bangsa agraris dengan wilayah yang amat
luas. Sejak itu, mentalitas kita mengalami degradasi fundamental dengan
kepercayaan pada kekuatan gaib yang irrasional, memandang alam secara romantik
dan menyerahkan nasib hidupnya pada ritme alam dalam suratan nasib yang harus
diterima dengan pasrah. Akibatnya di wilayah agraris yang menjadi unggulan kita
pun kalah, karena sekarang kita menjadi bangsa pengimpor produk agraris yang
besar, baik beras, kedele mau pun buah-buahan.
Selanjutnya
kehidupan politik agraris itu memperkokoh tumbuhnya feodalisme dalam tatanan
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajahan, yang
ujung-ujungnya menindas kehidupan rakyatnya sendiri. Feodalisme kerajaan
membentuk kultur birokrasi politik kekuasaan dengan melakukan sakralisasi
kekuasaan yang turun dari atas untuk diberikan pada orang-orang terpilih dari
dalam kerajaan itu sendiri. Rakyat harus tunduk dan memberikan upeti atas
kekuasaan feodalisme kerajaan sebagai pusat pengayoman yang tidak gratis.
Era
kemerdekaan yang dicapai bangsa dengan perjuangan yang berdarah-darah, pada
kenyataannya tidak mampu mengubah kultur birokrasi politik yang feodal. Memang
kita telah merdeka sejak 69 tahun yang lalu, tetapi mentalitas kita belum
sepenuhnya merdeka. Mentalitas kita belum merdeka sebagai bangsa kuli di wilayah-wilayah
agraris yang hidup hanya untuk makan, berpikir jangka pendek dan melestarikan
tradisi guyub dalam kemiskinan, yang kemudian membentuk budaya miskin dan
dikukuhkan dalam kemiskinan struktural oleh feodalisme kekuasaan kerajaan.
Berbagai
era pembangunan yang dilakukan bangsa kita sejak pemerintahan orde lama, orde
baru dan kemudian orde reformasi, pada kenyataannya belum sepenuhnya mampu
mengubah mentalitas bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, mandiri
secara budaya, politik dan ekonomi dalam sistem demokrasi yang substansial.
Demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan demokrasi reformasi telah
melahirkan perilaku korupsi berjamaah yang meluas dalam segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Revolusi
mental akan menjadi absurd kembali tanpa diikuti oleh kekuatan pencerahan
massal dalam mengelola kekuasaan. Absurditas revolusi mental akan terjadi
jikalau seorang pemimpin mulai melakukan kompromi konspiratif untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya, dengan mengabaikan peningkatan kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Karena
itu, revolusi mental harus mampu mengubah kultur politik birokrasi kekuasaan
feodalisme yang ada, yang selama ini menjadi tempat berlindungnya kekuasaan
konspiratif dari para penguasa, pengusaha dan politisi untuk mengukuhkan
kekuasaannya melalui terbentuknya demokrasi oligarkhi yang berpusat pada
elitenya. Rakyat hanya menjadi obyek dan legitimasi kekuasaan elite politiknya.
Jika
Jokowi-JK dalam kampanyenya telah menawarkan revolusi mental, maka revolusi
mental itu yang pertama harus ditujukan pada dirinya sendiri, bagaimana mereka
berdua dalam mengelola sistem kekuasaan yang dipercayakan rakyat kepadanya,
melalui kepemimpinannya yang progresif revolusioner dalam mewujudkan
kedaulatan, kemandirian, keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Pilihan
pada kepemimpinan yang progresif revolusioner ini adalah pilihan ideologis
kerakyatan yang telah ditunjukkan oleh dukungan rakyat kepada mereka berdua.
Jikalau kepemimpinan Jokowi-JK konsisten dengan kepemimpinan yang progresif
revolusioner ini, maka mereka tidak perlu takut terhadap ancaman dan gangguan
terhadap kepemimpinannya, seperti signal yang terbaca dari adanya perlawanan
politik koalisi merah putih itu, karena rakyat akan selalu ada di belakangnya,
sehingga setiap ancaman dan gangguan terhadap kepmimpinannya, akan dirasakan
langsung sebagai ancaman dan gangguan bagi rakyat untuk memperoleh kehidupan
yang lebih baik.
Karena
itu, momentum ini tidak boleh lewat begitu saja, mereka harus bekerja cepat,
cerdas dan realistis dengan kepemimpinan blusukan yang telah diterima publik
sebagai kepemimpinan pro-rakyat harus terus dilakukan secara aktual, dan
diperkuat dengan bukti nyata bahwa nasib mereka telah dan akan berubah lebih
baik. Kalau momentum ini bisa dijaga, maka dengan suka rela rakyat akan pasang
badan untuk membelanya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para relawan
Jokowi-JK pada saat pilpres berlangsung. Tetapi jika tidak, maka mereka akan
ditinggalkan rakyatnya sendiri. (Disampaikan dalam Tasyakuran dan Sarasehan
dalam rangka Ulang Tahun "Diskusi Jum'at Malam" ke-35 Dosen Tetap UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Kamis 18 September 2014 di PAU Lt. 1)
Referensi: