Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 17 Oktober 2015

Konsep Teknologi Internet dan New Media tentang Revolusi Mental


Nama : Rangga Dwi Fachreza
NPM : 58414905
Kelas : 2IA09



Kebertuhanan Bangsa Dan Revolusi Mental

Fenomena sosial yang ada memperlihatkan pada kita bahwa krisis yang melanda bangsa adalah krisis yang bersifatmulti-dimensional, karena sudah menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa, baik sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya maupun agama, bahkan karakter bangsa telah mengalami peluruhan terus, seperti memasuki sumur tanpa dasar, dan kita tidak tahu persis sampai kapan krisis ini akan berakhir.
Karena itu, gagasan perbaikan untuk mengatasi krisis bangsa yang multi-dimensional, tidak bisa lagi bersifat parsial, tetapi harus total dan menyeluruh. Gagasan demikian biasanya menggunakan slogan revolusi, seperti revolusi kebudayaan, revolusi struktural, bahkan revolusi sampai mati, bahkan bung Karno sendiri pernah mengatakan bahwa revolusi kita belum selesai. Gagasan revolusi ini adalah gagasan yang gagah berani, seakan-akan bisa menyelesaikan krisis dengan seketika, tetapi gagasan itu sesungguhnya absurd.
1. Tentang Kebertuhanan kita
Dalam realitas kehidupan masyarakat di mana pun, ada sesuatu yang fundamental dalam kehidupannya yaitu sistem kepercayaan, sifatnya transenden dan berkaitan dengan kebertuhanan. Ada tiga fenomena kebertuhanan yang sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar atas terbentuknya pandangan hidup dan moralitasnya, yaitu kebertuhanan 1) Tuhan Persepsi (al ilah al idraky), 2) Tuhan Konsepsi (al ilah al aqly) dan 3) Tuhan Empirik (al ilah al ‘amaly). Apapun kepercayaannya, kebertuhanan itu menjadi dasar dari suatu way of life, untuk memberi jawab atas misteri abadi kehidupannya, dari mana dan akan ke mana? dan kemudian membentuk suatu pandangan moralitas yang mengarahkan perbuatannya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukannya.
Pandangan kebertuhanan biasanya diajarkan pertama kali oleh orang tuanya, gurunya dan lingkungan sosial keagamaan di mana seseorang sejak kecil menjalani kehidupannya. Kebertuhanan itu dibangun dari cerita kemanusiaan, perintah keagamaan dan pandangan gaib tentang Tuhan. Mereka membangun suatu persepsi tentang Tuhan. Pada tahap ini Tuhan digambarkan sebagai sosok pribadi yang berkuasa dan membentuk pandangan moralitas yang harus tunduk sepenuhnya tanpa syarat pada kehendak-Nya. Pandangan moralitas yang verbal, menekankan formalism dan bertumpu pada ritual keagamaan.
Setelah seseorang mengalami perkembangan intelektual yang semakin tinggi dan mencapai tingkat pengetahuan yang rasional, maka tuhan persepsi itu bergeser pada tuhan konsepsi, dengan menghadirkan rumusan konsepsi tentang Tuhan. Yang menjadi masalah adalah apakah konsepsi tentang Tuhan itu mungkin? Suatu konsepsi selalu dimulai dari definisi melalui batasan dan pengukuran, sedangkan Tuhan tidak terbatas dan tidak mungkin diukur. Tuhan konsepsi ini kemudian membentuk pandangan moralitas yang rasional, dengan melakukan rasionalisasi terhadap suatu tindakan, yang seringkali dipengaruhi oleh kepentingan yang bersifat subyektif.
Tuhan persepsi dan tuhan konsepsi adalah sesuatu yang wajar dari proses perkembangan rasionalitas yang dialami seseorang dalam kehidupannya. Akan tetapi Tuhan persepsi dan konsepsi terbentur pada keterbatasan untuk menggapai ketidak-terbatasan, dan merupakan pemikiran yang di dalamnya mengandung kesalahan metodologis. Ketidak-terbatasan Tuhan mutahil dicapai oleh keterbatasan manusia, baik melalui persepsi maupun konsepsinya. Akiabtnya setiap definisi Tuhan mengandung kesalahan metodologis, sehingga persepsi dan konsepsi Tuhan pun akan mengalami kegagalan. Dengan kata lain, persepsi dan konsepsi tentang Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi hanya tuhan (dengan t kecil), yaitu tuhan yang dikonstruksikan oleh pemikirannya sendiri.
SedangkanTuhan empirikadalah realitas dinamis pengalaman hidup bertuhan, baik dalam suka mau pun duka, yang membentuk kesadarannya bahwa hidup ada di dalam Tuhan, dan di luar Tuhan sama sekali tidak ada kehidupan. Pengalaman kebertuhanannya menyadarkan betapa besarnya Tuhan dalam segala ciptaan-Nya yang tidak mungkin dimonopolinya. Tuhan adalah kemutlakan yang tak tergapai oleh kerelatifan dirinya. Kesadaran moralitas Tuhan empirik menyadarkan adanya keterbatasan dirinya dan keharusan untuk menerima pluralitas dan membangun harmoni bagi kehidupan bersama.
2. Krisis Multi-dimensi
Fenomena sosial yang berkembang pada masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas bangsa kita berada dalam berketuhanan tuhan persepsi. Akibatnya para ABG jatuh pada pemujaan seorang tokoh yang diidolakannya, seperti agama CB, Smash dan juga Lady Gaga, dan mereka mau melakukan apa saja untuk tokoh yang dipuja dan dipertuhankannya. Para politisi karbitan memuja kekuasaan, di mana kekuasaan di pandang sebagai tujuan hidupnya, dan mereka mau mengorbankan dirinya untuk meraih kekuasaan dengan cara apa pun, bahkan para penguasa memandang kekuasaan menghalalkan segara cara termasuk korupsi, manipulasi dan kolusi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka juga memandang uang segala-galanya, uang telah dipertuhankan sebagai cara untuk meraih sorga dunia, hidup senang dan berkecukupan, mereka jatuh pada hedonism, konsumerisme dan materialism.
Karena itu, betapa sulitnya kita keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda kehidupan bangsa ini, seakan-akan kita menghadapi benang kusut, karena dalam semua aspek kehidupan kita ternyata telah mengalami degradasi serius, dengan peluruhan karakter yang mengancam masa depan bangsa secara keseluruhan. Rasanya mustahil keluar dari krisis multi-dimensi ini, kalau pendekatannya masih bersifat parsial dan hanya di permukaan saja, karena sebenarnya fundamental kehidupan ini yaitu sistem kepercayaan kita sedang sakit, tidak mempertuhankan Tuhan tetapi mempertuhankan tuhan, berupa kekuasaan, uang dan kesenangan duniawi.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila seharusnya menjadi praktek kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegera, jangan sampai ideologinya Pancasila, tapi praktek hidupnya anti Pancasila. Karena itu, Ketuhanan Yang Maha Esaadalah kebertuhanannya semua agama dan aliran kepercayaan. Kebertuhanan yang menerima pluralitas persepsi Tuhan bukan sebagai yang absolute dan tidak boleh dimutlakkan, agar tumbuh menjadi kebertuhanan empirik yang dikukuhkan dalam empat sila berikutnya.
Kebertuhanan empirik yang menyatu dalam perikemanusiaan yang adil dan beradab, dengan menjauhkan diri dari kecenderungan kemanusiaan yang tidak adil terhadap semua kelompok dan aliran serta kemanusiaan yang tidak beradab, barbar dan tidak menghargai keanekaragaman, yang kemudian dikukuhkan dalam persatuan nasional, melalui kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang terwujud dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyat di negeri ini.
3. Absurditas Revolusi Mental
Mentalitas bangsa kita dalam sejarahnya telah mengalami proses pasang surut. Di masa lalu mentalitas bangsa kita sebagai bangsa bahari dikenal mempunyai mentalitas yang kuat, mempunyai penguasaan terhadap pergolakan di lautan, sehingga mengantarkan kehidupan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul di Asia Tenggara, dan pernah menjadi pusat kekuasaan politik dan perdagangan yang berbasis pada penguasaan maritim, baik pada masa kerajaan Sriwijaya mau pun Majapahit.
Pada era penjajahan, kekuatan maritim kita dikalahkan dan dikandangkan penjajah di daratan, untuk menjadi pekerja di perkebunan dan pertanian yang mereka kuasai, dan kemudian kita dikukuhkan sebagai bangsa agraris dengan wilayah yang amat luas. Sejak itu, mentalitas kita mengalami degradasi fundamental dengan kepercayaan pada kekuatan gaib yang irrasional, memandang alam secara romantik dan menyerahkan nasib hidupnya pada ritme alam dalam suratan nasib yang harus diterima dengan pasrah. Akibatnya di wilayah agraris yang menjadi unggulan kita pun kalah, karena sekarang kita menjadi bangsa pengimpor produk agraris yang besar, baik beras, kedele mau pun buah-buahan.
Selanjutnya kehidupan politik agraris itu memperkokoh tumbuhnya feodalisme dalam tatanan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajahan, yang ujung-ujungnya menindas kehidupan rakyatnya sendiri. Feodalisme kerajaan membentuk kultur birokrasi politik kekuasaan dengan melakukan sakralisasi kekuasaan yang turun dari atas untuk diberikan pada orang-orang terpilih dari dalam kerajaan itu sendiri. Rakyat harus tunduk dan memberikan upeti atas kekuasaan feodalisme kerajaan sebagai pusat pengayoman yang tidak gratis.
Era kemerdekaan yang dicapai bangsa dengan perjuangan yang berdarah-darah, pada kenyataannya tidak mampu mengubah kultur birokrasi politik yang feodal. Memang kita telah merdeka sejak 69 tahun yang lalu, tetapi mentalitas kita belum sepenuhnya merdeka. Mentalitas kita belum merdeka sebagai bangsa kuli di wilayah-wilayah agraris yang hidup hanya untuk makan, berpikir jangka pendek dan melestarikan tradisi guyub dalam kemiskinan, yang kemudian membentuk budaya miskin dan dikukuhkan dalam kemiskinan struktural oleh feodalisme kekuasaan kerajaan.
Berbagai era pembangunan yang dilakukan bangsa kita sejak pemerintahan orde lama, orde baru dan kemudian orde reformasi, pada kenyataannya belum sepenuhnya mampu mengubah mentalitas bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, mandiri secara budaya, politik dan ekonomi dalam sistem demokrasi yang substansial. Demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan demokrasi reformasi telah melahirkan perilaku korupsi berjamaah yang meluas dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Revolusi mental akan menjadi absurd kembali tanpa diikuti oleh kekuatan pencerahan massal dalam mengelola kekuasaan. Absurditas revolusi mental akan terjadi jikalau seorang pemimpin mulai melakukan kompromi konspiratif untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, dengan mengabaikan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Karena itu, revolusi mental harus mampu mengubah kultur politik birokrasi kekuasaan feodalisme yang ada, yang selama ini menjadi tempat berlindungnya kekuasaan konspiratif dari para penguasa, pengusaha dan politisi untuk mengukuhkan kekuasaannya melalui terbentuknya demokrasi oligarkhi yang berpusat pada elitenya. Rakyat hanya menjadi obyek dan legitimasi kekuasaan elite politiknya.
Jika Jokowi-JK dalam kampanyenya telah menawarkan revolusi mental, maka revolusi mental itu yang pertama harus ditujukan pada dirinya sendiri, bagaimana mereka berdua dalam mengelola sistem kekuasaan yang dipercayakan rakyat kepadanya, melalui kepemimpinannya yang progresif revolusioner dalam mewujudkan kedaulatan, kemandirian, keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Pilihan pada kepemimpinan yang progresif revolusioner ini adalah pilihan ideologis kerakyatan yang telah ditunjukkan oleh dukungan rakyat kepada mereka berdua. Jikalau kepemimpinan Jokowi-JK konsisten dengan kepemimpinan yang progresif revolusioner ini, maka mereka tidak perlu takut terhadap ancaman dan gangguan terhadap kepemimpinannya, seperti signal yang terbaca dari adanya perlawanan politik koalisi merah putih itu, karena rakyat akan selalu ada di belakangnya, sehingga setiap ancaman dan gangguan terhadap kepmimpinannya, akan dirasakan langsung sebagai ancaman dan gangguan bagi rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Karena itu, momentum ini tidak boleh lewat begitu saja, mereka harus bekerja cepat, cerdas dan realistis dengan kepemimpinan blusukan yang telah diterima publik sebagai kepemimpinan pro-rakyat harus terus dilakukan secara aktual, dan diperkuat dengan bukti nyata bahwa nasib mereka telah dan akan berubah lebih baik. Kalau momentum ini bisa dijaga, maka dengan suka rela rakyat akan pasang badan untuk membelanya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para relawan Jokowi-JK pada saat pilpres berlangsung. Tetapi jika tidak, maka mereka akan ditinggalkan rakyatnya sendiri. (Disampaikan dalam Tasyakuran dan Sarasehan dalam rangka Ulang Tahun "Diskusi Jum'at Malam" ke-35 Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Kamis 18 September 2014 di PAU Lt. 1)
Referensi:


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About